Kaifiyah Shalat dalam Tarjih Muhammadiyah: Analisis Komparatif Fikih Empat Mazhab

Shalat dalam Islam tidak hanya menjadi rukun ibadah personal, tetapi juga representasi konkret epistemologi hukum Islam dalam praksis sosial. Berbagai mazhab fikih telah mengkodifikasi kaifiyah shalat secara sistematis berdasarkan pendekatan tekstual dan kontekstual terhadap dalil syar’i. Namun, dalam kerangka pembaruan hukum Islam, penting dilakukan verifikasi dan validasi ulang atas praktik tersebut berdasarkan sumber primer: Al-Qur’an dan hadis sahih. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid kontemporer memosisikan dirinya secara metodologis melalui institusi Majelis Tarjih dan Tajdid dalam melakukan proses ijtihad kolektif (ijtihad jama’i). Salah satu wujudnya adalah penyelenggaraan Muzakarah Tarjih yang berfungsi sebagai forum deliberatif berbasis metodologi bayani-burhani.

Hasil Muzakarah Tarjih Keenam yang diselenggarakan oleh majelis Tarjih dan Tajdid PDM Bukittinggi, khususnya dalam rekonstruksi kaifiyah gerakan shalat, dan bagaimana posisi hukum tersebut berkorelasi dengan doktrin fikih empat mazhab.


Hasil dan Pembahasan

Terdapat sepuluh poin pokok dalam hasil muzakarah yang dikaji sebagai berikut:

  1. Qiyam dalam Shalat Fardhu
  2. Putusan Tarjih menegaskan bahwa berdiri dalam shalat fardhu merupakan syarat sah yang tidak bisa ditinggalkan kecuali karena uzur syar’i, bersesuaian dengan ijma’ seluruh mazhab.
  3. Rafa’ al-Yadain dalam Takbiratul Ihram
  4. Penegasan posisi tangan sejajar ujung telinga dan bahu merepresentasikan pembacaan tekstual atas hadis-hadis marfu’ dengan sanad hasan hingga sahih. Tarjih memilih bentuk ini karena memiliki korelasi dengan praktik Nabi yang dilaporkan dalam Shahih Bukhari dan Musnad Ahmad, serta didukung Hanabilah dan Syafi’iyyah.
  5. Wadh’u al-Yadain ‘ala al-Sadr
  6. Pemosisian tangan kanan di atas kiri di atas dada dipilih berdasarkan preferensi hadis yang lebih kuat, dan tidak dibedakan antara pria dan wanita, yang menunjukkan konsistensi tarjih pada prinsip egalitarian dalam ibadah.
  7. Kaifiyah Rukuk
  8. Rukuk dengan punggung lurus dan jari-jari merenggang di atas lutut merupakan implementasi dari hadis shahih dan menjadi praktik unggulan dalam mazhab Syafi’i.
  9. I’tidal dan Rafa’ al-Yadain Kedua
  10. Pengangkatan tangan kembali saat bangkit dari rukuk sejalan dengan mayoritas ulama Syafi’i dan Hanbali. Tarjih menjadikan hadis-hadis dalam Sahih Muslim sebagai dasar pemilihan bentuk ini.
  11. Tartib Gerakan Sujud: Tangan atau Lutut
  12. Muhammadiyah mengikuti mazhab Maliki yang mendahulukan tangan dalam turun sujud. Ini didasarkan pada preferensi hadis yang lebih valid secara sanad dan matan.
  13. Sujud dan Kaifiyah Gender-Netral
  14. Sujud dilakukan dengan tujuh anggota sujud tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Argumen Tarjih menyandarkan pada prinsip universalitas hukum dan tidak ditemukannya dalil sahih yang mensyaratkan perbedaan gender dalam kaifiyah sujud.
  15. Posisi Duduk antara Dua Sujud dan Tasyahhud
  16. Tarjih menggunakan iftirasy dalam dua rakaat dan tawarruk hanya untuk tasyahhud akhir dalam shalat tiga atau empat rakaat. Keputusan ini mengikuti preferensi Hanabilah dan didukung oleh riwayat Aisyah r.a. dalam Sunan Abu Dawud.
  17. Isyarat Telunjuk saat Tasyahhud
  18. Isyarat telunjuk dilakukan satu kali pada frasa "illāllāh", dan tidak digerakkan terus-menerus sepanjang tasyahhud. Pendekatan ini dipilih oleh Majelis Tarjih atas dasar pertimbangan riwayat hadis yang lebih kuat dari sisi sanad dan matan, serta mempertimbangkan aspek tuma’ninah yang merupakan prinsip penting dalam kekhusyukan shalat. Dalam hal ini, mazhab Syafi’i dijadikan referensi utama karena konsistensinya dalam menegakkan keseimbangan antara dalil dan praktik ibadah yang moderat. Selain itu, praktik ini juga mencegah adanya unsur berlebihan dalam ritual yang tidak didukung secara eksplisit oleh sunnah yang sahih.
  19. Tasyahhud dan Salam
  20. Salam dilaksanakan dengan menoleh ke kanan dan ke kiri sebagai bentuk pengakhiran shalat yang mengikuti tuntunan Nabi saw. Praktik sebagian masyarakat lokal yang menunda isyarat telunjuk hingga setelah pengucapan syahadat merupakan bentuk lokalitas amaliah yang tidak memiliki pijakan kuat dalam kitab-kitab otoritatif empat mazhab. Hal ini menjadi catatan penting dalam diskursus fikih untuk ditelaah secara lebih serius pada forum muzakarah selanjutnya guna menghindari kekeliruan amaliyah yang telah terlanjur membudaya tanpa dasar hukum yang valid.



Kesimpulan

Hasil Muzakarah Tarjih Keenam menegaskan posisi Muhammadiyah sebagai entitas fikih yang mengedepankan validitas dalil, bukan otoritas mazhab semata. Pilihan-pilihan tarjih menunjukkan adanya sintesis metodologis antara pendekatan bayani dan burhani, dengan preferensi kuat pada hadis sahih dan maqashid al-shari’ah. Kaifiyah shalat yang ditawarkan bukan hanya merepresentasikan kontinuitas tradisi, melainkan juga keberanian epistemik dalam menafsir ulang praktik-praktik ibadah berdasarkan nash otentik. Rekomendasi ke depan adalah memperkuat dokumentasi dan kodifikasi hasil muzakarah agar dapat dijadikan rujukan standardisasi amaliyah di lingkungan persyarikatan. Selain itu, perlu penguatan forum ilmiah yang melibatkan akademisi, ulama, dan praktisi agar putusan-putusan tarjih memiliki legitimasi epistemik dan fungsional di tengah umat.